Featured Article

Rabu, 11 Januari 2012

MARX WEBER

A. Biografi Max Weber
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, pada tanggal 21 april 1864, dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi politik yang relatif penting. Ibu Max Weber adalah seorang calvinis yang sangat religius, seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi yang didambakan oleh suaminya. Perbedaan tajam antara kedua orang tuanya menyebabkan ketegangan rumah tangga, dan perbedaan serta ketegangan tersebut membawa dampak besar bagi weber. Karena tidak mungkin mendamaikan kedua orang tuanya, sebagai anak weber dihadapkan pada pilihan yang sulit. Mula-mula ia lebih cenderung pada orientasi hidup ayahnya, namun kemudian ia lebih dekat dengan ibunya. Pada usia 18 tahun, Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di Universitas Heidelberg. Weber telah menunjukkan kemampuan intelektualnya, namun dalam hal derajat sosial ia memasuki Universitas Heidelberg dengan malu-malu dan terbelakang. Namun, hal tersebut cepat setelah ia tertarik pada car hidup ayahnya dan bergabung dengan organisasi kepemudaan yang penuh persaingan, tempat ayhnya dulu juga terlibat.setelah tiga tahun, Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan ke rumah orang tuanya untuk mengambil kuliah di Universitas Berlin. Ia tetap di sana selama hampir delapan tahun. Kemudian ketika ia menyelesaikan studinya, meraih gelar doktor, menjadi pengacara.

B.Warisan Idealisme Historisisme Jerman dan Sosiologis Interpretatif (Verstehen)
1)      Warisan Idealisme Historisisme Jerman
Konsep Sosiologi Weber, sebagaimana yang telah kita ketahui, dipandang sebagai suatu upaya yang menengahi antara dua cara pandang yang bertentangan yang terjadi di jerman pada masanya. Posisi pertama, adalah mereka yang di ilhami oleh keberhasilan ilmu alam, yang meyakini bahwa metode mereka akan mampu memacu perkembangan studi manusia dan masyarakat. Sebaliknya pandangan yang kedua, menekankan bahwa sesuatu yang penting dalam manusia (spirit, pikiran, budaya dan sejarahnya) tidak akan mampu di pahami melalui teknik-teknik ilmu alam, karenanya pandangan yang pertama itu sifatnya superficial (hal-hal yang ada di permukaan) dan hanya menyangkut aspek-aspek manusia yang eksternal saja.
Psikologisme, positivisme dan behaviorisme merupakan prinsip-prinsip manifestasi dari pijakan pandangan pertama, yang bertentangan dengan Husserl dan Scheler sebagaimana yang telah kita lihat, telah mengembangkan perspektif pendekatan fenomenologi. Sedangkan weltanschuungsphilosophi dan historisme merupakan contoh dari pijakan yang kedua. Pemikiran ini menekankan bahwa keunikan spirit manusia membutuhkan beberapa metode yang khusus sehingga seseorang mampu memahinya secara autentik. Hanya dengan intuisi yang simpatik dan pemfokusan terhadap makna itulan yang akan mampu menghasilkan suatu pemahaman budaya dan sejarah secara memadai. Menurut Weber, dalam memahami sosio budaya maka di perlukan beberapa metode khusus dalam rangka memahami berbagai motif dan arti atau makna tindakan manusia. Dengan pengertian semacam ini, maka sosiologi merupakan suatu ilmu yang meilbatkan dirinya dengan penafsiran dan pemahan tindakan manusia secara sensitif. Penjelasan sosiologi haruslah memadai dalam tahapan makna. Tetapi ini bukan berarti bahwa Weber menyatakan bahwa sosiologi harus menghilangkan hubungan-hubungan kausal dalam berbagai fenomena sosial. Weber menunujukkan bahwa keterlibatan dengan kausal (hukum sebab akibat) dan generalisasi merupakan suatu hal yang umum dalam semua ilmu, maka demikian pula hal ini harus dijadikan fokus utama dalam ilmu sosial. Dengan cara seperti ini, Weber mencoba memperbarui apa yang dianggap penting oleh kedua pijakan yang bertentangan tersebut. Dengan adanya kondisi manusia semacam itu, maka tidak ada ilmu yang akan dapat memahami secara benar jika menghilangkan makna dan kesulitan itu. Sosiologi merupakan suatu ilmu yang hadir secara bersamaan untuk memahami makna subjektif manusia yang diatributkan pada tindakkan-tindakkannya dan sebab-sebab objektif serta konsekuensi dari tindakannya. Perlu diingat bahwa makna juga merupakan suatu komponen kausal dari suatu tindakan. Definisi Weber yang terkenal tentang tindakan tersebut adalah sebagai berikut “ suatu tindakan sosial itu merupakan suatu tindakan yang subjektif yang juga meliputi tindakan yang lainnya” dan diorientasikan dalam bentuk tindakan sosial. Secara ideal sosiologi haruslah menyediakan suatu penjelasan yang memadai pada dua tingkatan : pada tingkatan arti dan tindakan kausalitas. Istilah yang subjektif sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Weber, merupakan suatu hal yang penting. Sebab dengan cara ini akan membedakan secara tegas orang yang mengabaikan arti dalam mempelajari manusia dengan orang meyakini bahwa arti itu merupakan suatu hal yang objektif dan mutlak. Menurut Weber demikian pula Scheller, etika, estetika, dan beberapa cabang budaya itu kebenaran dan kevaliditasan tidak ditentukan oleh standar transidental metafisika. Subyektif itu merujuk pada makna dari actor-aktor itu sendiri yang memberikan atribut pada tindakan mereka dimana ini mengartikan bahwa seseorang haruslah berusaha keras untuk memahaminya.
Weber muda adalah seorang peneliti aktif mengenai kebijakan sosial dan kondisi kaum buruh, Weber yang lebih akhir melakukan riset mengenai psikofisika dalam kerja industrial, serta merupakan partisipan dalam negosiasi perdamaian Versailles dan contributor untuk konstitusi Weimar. Simpati Max Weber konon lebih dekat kepada Partai Sosial Demokrat Jerman dari pada apa yang diakuinya, setidaknya tertuju pada aliran reformasinya.  
2)      Sosiologis Interpretatif (Verstehen)
Teori sosiologi interpretatif berpandangan bahwa dunia sosial berbeda dengan dunia alam harus dimengerti sebagai suatu penyelesaian secara terlatih dari manusia sebagai subyek yang aktif dan pembentukan dunia ini sebagai sesuatu yang mempunyai makna, dapat diperhitungkan atau dimengerti dengan jelas. Menurut Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretative dimaksudkan agar dalam menganalisis dan mendeskripsikan masyarakat tidak sekedar yang tampak saja, melainkan dibutuhkan interpretasi agar penjelasan tentang individu dan masyarakat tidak keliru. Weber merasa bahwa sosiolog  memiliki kelebihan daripada ilmuwan alam. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena sosial, sementara ilmuwan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang perilaku atom dan ikatan kimia.
Kata pemahaman dalam bahasa Jerman adalah verstehen. Pemakaian istilah verstehen ini secara khusus oleh Weber dalam penelitian historis adalah sumbangan yang paling banyak dikenal, dan paling kontroversial, terhadap metodologi sosiologi kontemporer. Ketika kita mengerti apa yang dimaksud Weber dengan kata verstehen, kita pun akan menggarisbawahi beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber, muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Seperti dikemukakan Thomas Burger, Weber tidak utuh dan konsisten dengan pernyataan metodologisnya. Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar mengulangi gagasan-gagasannya yang pada zamannya terkenal di kalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi, seperti ditegaskan diatas, Weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologis.
Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika ( Martin, 2000;Pressler dan Dasilva, 1996). Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial : memahami aktor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia. Satu kesalahpahaman yang sering terjadi menyangkut konsep verstehen  adalah bahwa dia dipahami sekedar sebagai penggunaan “intuisi”, irasional, dan subyektif. Namun secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya melibatkan intuisi, keterlibatan berdasarkan simpati, atau empati. Baginya, verstehen melibatkan penelitian sistematis dan ketat dan bukannya hanya sekedar merasakan teks atau fenomena sosial. Dengan kata lain, bagi Weber verstehen adalah prosedur studi yang rasional. Sejumlah orang menafsirkan verstehen, pernyataan-pernyataan Weber, tampaknya terbukti kuat dari sisi penafsiran level individu terhadap verstehen. Namun sejumlah orang juga menafsirkan bahwa verstehen yang dinyatakan oleh Weber adalah sebagai teknik yang bertujuan untuk memahami kebudayaan. Seiring dengan hal tersebut, W.G. Runciman (1972) dan Murray Weax (1967) melihat verstehen sebagai alat untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa tertentu.
 Max Weber juga memasukkan problem pemahaman dalam pendekatan sosiologisnya, yang sebagaimana cenderung ia tekankan adalah salah satu tipe sosiologis dari sekian kemungkinan lain. Karena itulah ia menyebut perspektifnya sebagai sosiologi interpretatif atau pemahaman. Menjadi ciri khas rasional dan positivisnya bahwa ia mentransfermasikan konsep tentang pemahaman. Meski begitu baginya pemahaman tetap merupakan sebuah pendekatan unik terhadap moral atau ilmu-ilmu budaya, yang lebih berurusan dengan manusia ketimbang dengan binatang lainnya atau kehidupan non hayati. Manusia bisa memahami atau berusaha memahami niatnya sendiri melalui instropeksi, dan ia bisa menginterpretasikan perbuatan orang lain sehubungan dengan niatan yang mereka akui atau diduga mereka punyai.
Refleksi metodologis Weber jelas berhutang pada filsafat pencerahan. Titik tolak dan unik analisis paling utamanya adalah sosok individual. Sosiologi interpretative memandang individu dan tindakannya sebagai  satuan dasar, sebagai “atomnya” sekiranya perbandingan yang diperdebatkan bisa diterima. Dalam pendekatan ini individu juga dipandang sebagai batas teratas dan pembawa tingkah laku yang bermakna. Weber memilah berbagai “tipe” aneka tindakan bermotivasi. Tindakan-tindakan yang tercakup dalam sikap kelaziman rasional ia nilai secara khas sebagai tipe yang paling bisa dipahami, dan perbuatan “manusia ekonomis” adalah contoh utamanya. Tindakan-tindakan yang kurang “rasional” oleh Weber digolongkan, kaitannya dengan pencarian tujuan-tujuan absolute, sebagai berasa dari sentiment berpengaruh dalam (affectual sentiments)atau sebagai “tradisional”. Karena tujuan absolut dipandang oleh sosiolog sebagai data yang “terberi” (given) maka sebuah tindakan bisa menjadi rasional dengan mengacu pada sarana yang digunakan, tetapi irasional jika dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Tindakan “afektual” , yang murni berasal dari sentiment, adalah tipe perbuatan yang kurang rasional. Dan akhirnya, mendekati level “instinctual” adalah perbuatan “tradisional” : tidak reflektif dan bersifat kebiasaan, tipe ini dikeramatkan karena “selalu dilakukan” dank arena itu dipandang tepat. Tipe-tipe tindakan ini dibentuk secara operasional kaitannya dengan sebuah skala rasionalitas.

Tipe-tipe ideal    
Tipe ideal adalah salah satu sumbangan terpenting Weber terhadap sosiologi kontemporer. Seperti telah kia ketahui, Weber percaya bahwa tanggung jawab sosiolog adalah mengembangkan seperangkat konseptual, yang kemudian dapat digunakan oleh sejarawan dan sosiolog. Perangkat konseptual terpenting tersebut adalah tipe ideal. Kendati memiliki definisi seperti ini, weber tidak sepenuhnya konsisten dengan caranya menggunakan tipe ideal. Untuk Memahami maksud awal konsep tersebut, kita harus memperhatikan beberapa ketidakkonsistenan ini. Pada level paling dasar, tipe ideal adalah konsep yang dikonstruksikan oleh ilmuwan sosial, menurut minat dan orientasinya, dalam rangka memahami ciri utama fenomena sosial.
Yang penting dicatat adalah bahwa tipe-tipe ideal merupakan perangkat heuristic, mereka berguna dan membantu dalam melakukan penelitian empiris dan dalam memahami aspek tertentu dari dunia sosial. Seperti dikatakan Lachman, “pada dasarnya tipe ideal adalah tolak ukur” atau menurut Kalberg, “standart pembanding”. Inilah yang dikatakan Weber: “fungsinya adalah alat pembanding dengan realitas empiris untuk menentukan ketidaksesuaian atau kemiripan, untuk menggambarkannya dengan konsep yang paling dapat dipahami secara tepat, dan untuk mendapatkan dan menjelaskannya secara kausal “tipe-tipe ideal adalah perangkat heuristic yang digunakan dalam irisan realitas sejarah. Sebagai contoh, ilmuan sosial akan mengkontruksi tipe ideal birokrasi berdasarkan atas keterlibatan mereka dengan data sejarah. Tipe ideal ini kemudian dapat dibandingkan dengan birokrasi actual. Peneliti mencari ketidaksesuaian pada kasus riel dari tipe ideal rata-rata. Selanjutnya, ilmuan sosial harus mencari sebab-sebab ketidaksesuaian dan penyimpangan ini. Beberapa alas an tipikal bagi ketidaksesuaian ini adalah:
1.      Tindakan birokrat yang didasarkan pada informasi yang keliru.
2.      Kesalahan strategi, terutama yang dilakukan oleh para pimpinan birokrasi.
3.      Kesalahan logika yang menopang tindakan pemimpin dan pengikut.
4.      Keputusan birokratis yang didasarkan pada perasaan.
5.      Segala irasionalitas dalam tindakan pimpinan dan pengikut birokrasi.
Contoh yang lain adalah tipe ideal pertempuran militer. Tipe ideal ini menentukan komponen-komponen utama pertempuran tersebut. Pertempuran actual mungkin tidak memiliki seluruh elemen ini, dan inilah satu hal yang ingin diketahui peneliti. Point dasarnya adalah bahwa element-element dari pertempuran militer dapat dibandingkan dengan element-element yang identik dengan tipe ideal.
Element-element tipe ideal (misalnya, component-komponent pertempuran militer yang ideal-tipikal) tidak boleh disatukan begitu saja: mereka dikombinasikan menurut kontabilitasnya. Sebagaimana seperti yang dikemukakan Hekman, “tipe-tipe ideal bukanlah produk dari dorongan sesaat atau khayalan ilmuan sosial, namun merupakan konsep yang dikonstruksi secara logis”.
Menurut pandangan Weber, tipe ideal secara induktif berasal dari dunia riel sejarah sosial. Weber tidak percaya bahwa dengan hanya menawarkan serangkaian konsep yang didefinisikan secara seksama sudah memadai, khususnya jika konsep-konsep tersebut secara deduktif diturunkan dari teori abstrak. Jadi, untuk menghasilkan tipe-tipe ideal, mula-mula meneliti harus melibatkan dirinya dengan realitas sejarah dan selanjutnya menurunkan tipe-tipe itu dari realitas tersebut. Sejalan dengan upaya Weber untuk menemukan titik tengah antara pengetahuan nomotetis dengan pengetahuan ideografis, ia berpendapat bahwa tipe-tipe ideal tidak boleh terlalu umum atau terlalu spesifik.
Meskipun tipe-tipe ideal harus berasal dari dunia riel, mereka tidak dapat menjadi cerminan citra dunia tersebut. Mereka adalah penekanan satu sisi terhadap esensi hal-hal yang terjadi di dunia nyata. Menurut pandangan Weber, semakin suatu tipe ideal diberi penekanan, semakin berguna ia bagi penelitian sejarah. Pengguanaan kata ideal atau utopia tidak boleh diartikan bahwa konsep yang digambarkan tersebut dari sudut pandang manapun adalah yang terbaik diantara yang mungkin. Seperti digunakan oleh Weber, istilah ini berarti bahwa bentuk yang digambarkan dalam konsep tersebut jarang, jika pernah, ditemukan di dunia nyata. Sebaliknya, Weber berargumen bahwa tipe ideal tidak harus positif atau benar, bisa saja sama sekali tidak dapat diterima secara moral atau bersikap negative.
Tipe-tipe ideal harus masuk akal di dalam dirinya sendiri, makna komponen-komponen harus kompatibel, dan semua itu harus membantu kita memahami dunia riel. Meskipun kita harus menganggap bahwa tipe-tipe ideal menggambarkan entitasyang statis, Weber percaya bahwa tipe-tipe tersebut dapat menjelaskan entitas statis atau dinamis. Selanjutnya kita memiliki tipe struktur ideal seperti, birokrasi, atau perkembangan sosial seperti birokratisasi.

Tindakan Sosial
Keseluruhan sosiologi Weber, jika kita menerima kata-katanya ini sebagai mana adanya, didasarkan pada pemahamannya tentang tindakan sosial. Ia membedakan tindakan dengan perilaku yang murni reaktif. Mulai sekarang konsep perilaku dimaksudkan sebagai perilaku otomatisyang tidak melibatkan proses pemikiran. Stimulus datang dan perilaku terjadi, dengan sedikit saja jeda antara stimulus dengan respons. Perilaku semacam ini tidak menjadi minat sosiologi Weber. Ia memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran. Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian pada individu, pola dan regularitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subjektif hanya hadir sebagai perilaku seseorang atau beberapa orang manusia.
Dari uraian tersebut juga dapat disimpulkan bahwa Weber mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang memusatkan perhatiannya pada pemahaman interpretative atas tindakan sosial dan pada penjelasan kausal atas proses dan konsekuensi tindakan tersebut.

C. Pemikiran Sosiologis Max Weber mengenai kelas, status, kekuasaan dan masalah rasionamitas
Dimulai dengan kelas, kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas, kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi, dan kadang-kadang sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan bahwa “situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
Berlawanan denga kelas, biasanya status merujuk pada komunitas. “situasi status” didefinisikan Weber sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif” (1921/1968:932). Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah. Dalam hal ini, gaya hidup, atau status, terkait dengan situasi kelas. Namun, kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain.
Kekuasaan menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun sebenarnya mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang   dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota – anggota masyarakat.  Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan  penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.
1.Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang bersifat politis.
2.Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni  patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya.
Dalam patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious.
Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.
3. Charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa dari dirinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan sebagainya.
Minat Weber yang begitu luas terhadap kekhasan, asal-usul dan perkembangan “rasionalisme “kebudayaan barat yang menjadi jantung sosiologinya ”(1994:18). Namun sulit memperoleh definisi yang jelas tentang rasionalisasi dari karya Weber. Sebaliknya, ia membahasnya menggunakan definisi, dan sering kali ia tidak manjelaskan definisi mana yang ttengah ia gunakan dalam diskusi tertentu (Brubaker, 1984;1).Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.
Tipe-tipe rasionalitas. Tipe pertama rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl Berg sebagai “setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan indidvidu yang murni, fragmatis dan egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan magi primitif, dan dian terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
Rasionalitas teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak.
Rasionalitas substantif (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti rasionalitas teoritis) secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas substantive melibatkan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai (secara sunstantif) tidak lebih rasional daripada sistem nilai lainnya. Jadi, tipe rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam ada postulat nilai yang konsisten.







DAFTAR PUSTAKA

M. Siahaan, Hotman. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Ritzer,George dan Douglas J. Goodman.m 2008.Teori Sosiologi Klasik . Yogyakarta:Kreasi Wacana.
Irving M. Zeihin. 1995. Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Weber Max. 2006.  Sosiologi. Jogjakarta

FERDINAND TONNIES

  1. Biografi ferdinand tonnies
Ferdinand tonnies lahir pada tahun 1855 di Schleswig-Holstein (Jerman Timur) yang berada di Tanjung Eiderstedt, masih dalam kedaulatan Denmark. Ia belajar di universitas Tubingen di Husum dimana ia menjadi tertarik menjadi novelis dan penyair. Pada tahun 1877 dia menerima gelar doctor dalam sastra klasik di universitass Tubingen, setelah itu Tonnies beralih ke filsafat, sejarah, biologi, psikologi, ekonomi, dan mulai mempelajari sosiologi. Empat tahun berikutnya pada tahun 1881 dia memulai karirnya dengan menjadi dosen swasta di Universitas Kiel, ia mengajar filsafat, ekonomi, statistic, sementara banyak dari hasil penelitiannya ia publikasikan di media massa. Oleh karena itu enam tahun kemudian, pada tahun 1887 ia menerbitkan buku paling terkenal mengenai Gemeinschaft dan Gesellschaft (komunitas dan masyarakat)
Tahun 1896 terjadi sebuah bentrokan dengan administrasi Universitas Kiel yang membuat dia menjadi tersangka radikalisme karena ia berhasil membuat massa melakukan mogok kerja pihak universitas menjanjikan karir yang cemerlang untuk sarjana muda. Tahun 1909 konflik eksternal telah diselesaikan dengan janji bahwa tonnies akan mendapatkan gelar profesor penuh bidang politik ekonomi di Universitas Kiel yang dimaksudkan untuk membantu keuangan Tonnies sebagai ayah dari kelima anaknya. Tetapi kenyataannya tonnies tidak disebut profesor penuh sampai tahun 1913. Ia hanya menjadi profesor tamu yang seringkali diundang di Universitas Kiel.
Ia merupakan salah seorang sosiolog jerman yang turut membangun institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman dan bersama dengan Max Weber, George Simmel, Werner Sombart, dan lainnya yang melatarbelakangi berdirinya German Sosiologycal Assocoation pada tahun 1909. Tonnies berhasil menjadi Guru besar Emiritus di Universitas Kiel, tetapi pada tahun 1933 dia dicabut dari status Guru Besar Emiritus. Kematiannya pada 9 april 1936 adalah saksi dari kediktaoran NAZI, karena semasa hidupnya ia aktif menentang gerakan NAZI di Jerman, yang telah menghasilkan 900 karya dan banyak menyumbang dibidang Sosiologi dan Filossofi. Banyak dari teori sosiologi yang termasuk gemeinschaft dan gesellschaft yang selanjutnya diedit dan dialihbahasakan ke dalam bahasa inggris menjadi community and society (1957) oleh Charles P. Loomis, karya yang lain berupa essai tentang sosiologi terdapat dalam bukunya Einfuhrung in die Soziologie (An Introduction to Sociology).

  1. Pemikiran sosiologi ferdinand tonnies
Dikotomi antara bentuk struktur sosial pramodern dan yang modern tidak hanya dikenal dalam analisa Durkheim. Mungkin sangat mirip dengan distingsi Tonnies yang terkenal itu antara masyarakat Gemeinschaft dan masyarakat Gesellschaft. Terjemahan Inggrisnya adalah community dan society untuk masing-masingnya, yang pada dasarnya juga berhubungan dengan istilah solidaritas mekanik dan organik. Bagi Tonnies, masyarakat Gemeinschaft mencerminkan satu kemauan yang bersifat alamiah dan memperlihatkan satu struktur sosial yang ditandai oleh kesatuan organik, tradisi yang kuat, hubungan yang menyeluruh dan memperlihatkan spontanitas dalam perilaku. Sebaliknya masyarakat Gesellschaft ditandai oleh kemauan yang bersifat rasional, yang lebih direncanakan, serta mengutamakan hubungan sosial yang didasarkan pada spesialisasi tertentu. Disitingsi Maine antara status dan kontrak memperlihatkan dikotomi yang serupa, seperti yang kemudian banyak dilukiskan oleh Redfield antara kebudayaan rakyat dan kebudayaan kota. (Johnson, 1986 : 189).

  1. Tipe masyarakat menurut ferdinand tonnies
Ferdinand Tonnies berpendapat bahwa masyarakat adalah karya ciptaan manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Tonnies dalam kata pembukaan bukunya. Masyarakat bukan organisme yang dihasilkan oleh proses-proses biologis. Juga bukan mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian individual yang masing-masing berdiri sendiri, sedang mereka didorong oleh naluri-naluri spontan yang bersifat menentukan bagi manusia. Masyarakat adalah usaha manusia untuk memelihara relasi-relasi timbal balik yang mantap. Kemauan manusia mendasari masyarakat.
Berkenaan dengan kemauan itu, Tonnies membedakan antara Zweekwille, yaitu kemauan rasional yang hendak mencapai tujuan dan Triebwille yaitu dorongan batin berupa perasaan. Distingsi ini berasal dari Wilhelm Wundu. Berbicara tentang Zweekwille, apabila orang hendak mencapai suatu tujuan tertentu dan mengambil tindakan rasional ke arah itu. Suatu no nonsense mentality menuntun seorang dalam merencanakan langkah-langkah tepat untuk mencapai tujuan itu.
Triebwille meliputi sejumlah langkah atau tindakan yang tidak berasal dari akal budi melulu, melainkan dari watak, hati atau jiwa seseorang yang bersangkutan. Triebwille bersumber pada selera, perasaan, kecenderungan psikis, kebutuhan biotis, tradisi, atau keyakinan seseorang. Triebwille paling menonjol di kalangan petani, orang seniman, rakyat sederhana, khususnya wanita dan generasi muda. Zweekwille lebih menonjol di kalangan pedagang, ilmuan dan pejabat-pejabat serta generasi tua.
Distingsi ini langsung berpengaruh atas corak dan ciri interaksi seseorang dalam kelompok atau masyarakat, sehingga kita dapat membedakan dua tipe masyarakat. Pertama Gemeinschaft atau paguyuban adalah bentuk hidup bersama yang lebih bersesuaian dengan Triebwille. Kerjasama dan kebersamaan tidak diadakan untuk mencapai tujuan diluar melainkan dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Orangnya merasa dekat satu sama lain dan memperoleh kepuasan karenanya. Suasanalah yang dianggap lebih penting daripada tujuan. Spontanitas diutamakan di atas undang-undang atau keteraturan. Tonnies menyebut sebagai contoh keluarga, lingkungan tetangga, sahabat-sahabat, serikat pertukangan dalam abad pertengahan, gereja, desa dll. Para anggota disemangati dan dipersatukan dalam perilaku sosial mereka oleh ikatan persaudaraan, simpati dan perasaan lainnya, sehingga mereka terlibat secara psikis dalam suka duka hidup bersama. kita boleh mengatakan bahwa mereka sehati dan sejiwa. Kata Tonnies, prototipe semua persekutuan hidup dinamakan “Gemeinschaft “ itu keluarga. Orang memasuki jaringan relasi-relasi kekeluargaan karena lahir. Walaupun kemauan bebas dan pertimbangan rasional dapat menentukan apakah orangnya akan tetap tinggal dalam keluarganya atau tidak, namun relasi itu sendiri tidak tergantung seluruhnya dari kemauan dan pertimbangan itu. Ketiga soko guru yang menyokong Gemeinschaft ialah: darah, tempat tinggal atau tanah dan jiwa atau rasa kekerabatan, ketetanggaan dan persahabatan. Ketiga unsur ini diliputi oleh keluarga.
Gesellschaft atau patembayan itu tipe asosiasi dimana relasi-relasi kebersamaan dan kebersatuan anatara orang berasal dari faktor-faktor lahiriah seperti persetujuan, peraturan, undang-undang, dsb. Tonnies mengatakan teori Gesselshcaft berhubungan dengan penjumlahan atau kumpulan orang yang dibentuk atas cara buatan. Kalau dilihat sepintas lalu saja, kumpulan itu mirip dengan Gemeinschaft, yaitu sejauh para anggota individual hidup bersama dan tinggal bersama secara damai. Tetapi dalam Gemeinschaft mereka pada dasarnya terus bersatu sekalipun ada faktor-faktor yang memisahkan, sedang Gesellschaft pada dasarnya mereka tetap berpisah satu dengan yang lain meskipunada faktor-faktor lain yang menyatukan.
Tonnies memakai istilah hidup yang organis dan nyata untuk relasi-relasi yang berlaku dalam Gemeinschaft dan istilah struktur yang khayal dan mekanis untuk relasi-relasi yang berlaku dalam Gesellschaft. Yang pertama membentuk suatu kesatuan hidup dimana unsur kesatuan dan kolektivitas lebih menonjol yang kedua menyerupai bagian mekanisme, dimana individu dan kepentingannya lebih menonjol.
Perlu dimaklumi bahwa Tonnies tidak pernah mengatakan bahwa tiap masyarakat Gemeinschaft sama dengan organisme dan masyarakat Gesellschaft sama dengan mekanisme. Sebaliknya ia menolak baik realisme maupun nominalisme yang kedua-duanya sejak Aristoteles selalu diperhitungkan oleh filsuf-filsuf dan telah menghasilkan dua gambaran masyarakat yang ekstrem. Ia hanya bertujuan untuk melukiskan atas cara abstrak dan dengan memakai konsep-konsep dua bentuk atau tipe kehidupan bersama yang berbeda-beda dan merupakan dua kemungkinan abstrak.
Dengan mengingat manusia adalah makhluk dwi-tunggal yang menyatukan dalam dirinya baik individualitas maupun sosialitas, maka kita dapat mengatakan bahwa masyarakatnya selalu akan bercorak entah kurang individualis maupun kurang kolektivistis, tetapi tidak pernah individualis melulu juga kolektivistis melulu. Perbedaan logis anatara dua pola dasar tidak berarti bahwa kenyataan dua tipe masyarakat muncul juga murni dan secara ekstrem.
Sama sebagaimana telah diungkapkan oleh Cooley, bahwa konsep-konsep egoisme dan altruisme, pilihan bebas dan kewajiban sosial, hanya saling menolak di bidang konseptual saja. Sedang dalam kenyataanya mereka tetap terjalin menjadi satu hidup, demikian juga dengan konsep Gemeinschaft dan Gesellschaft. Dalam kenyataan praktis mereka tidak saling menolak, sebab tidak mungkin ada Gemeinschaft tanpa ciri-ciri Gesellschaft dan tidak mungkin ada Gesellschaft tanpa ciri-ciri Gemeinschaft. Misalnya keluarga tradisional dan masyarakat desa yang merupakan contoh Gemeinschaft tidak akan dapat bertahan terus menerus tanpa adanya peraturan, undang-undang, sistem peradilan dan kepemimpinan. Sekalipun orangnya didorong oleh idealisme dan kemauan baik dan menggabungkan diri ke dalam suatu Gemeinschaft mereka tetap membutuhkan beberapa kepastian yang menyangkut rezeki dan kebutuhan lain.
Dilain pihak, walaupun suatu perusahaan diatur dan diselenggarakan secara birokratis dan rasional menurut gambaran Gesellschaft, unsur-unsur manusia yang nonrasional akan tetap ikut memainkan peran dan mempengaruhi interaksi orang yang bersangkutan. Sama sebagaimana Zweekwille dan Triebwille terjalin, demikian pula halnya maninfestasi mereka berupa kedua pola interaksi masyarakat. Itu sebabnya Tonnies menegaskan bahwa tiap-tiap relasi selalu mengungkapkan ketunggalan dalam kebhinekaan, dan kebhinekaan dalam ketunggalan. Hanya kalau kita membuat deskripsi umum dan abstrak, kita mempertentangkan unsur yang satu dengan lain. Misalnya kita berkata bahwa seorang seniman mengharapkan penghargaan (Triebwille), sedang seorang mengaharapkan keuntungan. Ini suatu pertentangan yang abstrak dan generalisasi. Sebab dalam kenyataanya kedua hal tersebut tercampur. Pada dasarnya sorang seniman juga memerlukan uang dan sebaliknya seorang pedagang juga menginginkan penghargaan. Atau kita dapat menyebut dengan seniman lebih banyak menginginkan penghargaan dan pedagang lebih banyak mengharapkan uang.
Dalam pola interaksi Gemeinschaft dan pola yang berlaku dalam Gesellschaft tidak saling menolak satu sama lain. Tiap-tiap relasi mengandung dua aspek. Selalu ada dua hal yang kait mengait dan tidak mungkin dipisahkan dalam hidup. namun dalam tipe Gemeinschaft unsur hukum, peraturan dan disiplin kurang dipentingkan dan tidak sama menonjol seperti dalam Gesellschaft, sedang unsur perasaan dan solidaritas yang berasal dari Triebwille tidak begitu menonjol dalam Gesellschaft.
Kalau semua masayarakat yang kita kenal coraknya kita tempatkan di atas suatu garis bujur dimana ujung satu merupakan Gemeinschaft murni dan ujung lain Gesellschaft murni, maka kita akan melihat bahwa ada masyarakat yang lebih dekat dengan ujung satu dan ada yang lebih dekta dengan ujung yang lain, tetapi tidak ada yang bertepatan dengan salah satu ujung.
Sehubungan dengan individu juga kita harus mengatakan bahwa ia selalu mondar-mandir anatara dua tipe kelakuan. Ada kalanya dia bersikap sangan disipliner, zakelijk dan rasional, sedang pada waktu tertentu ia lebih banyak didorong oleh pertimbangan dan motivasi afektif. (KJ. Veeger, 1986: 127-132)
Secara ringkasnya Tonnies memiliki teori yang membedakan konsep tradisional dan modern yaitu Gemeinschat dan Gesselschaft. Gemeinschaft disebut juga paguyuban, yaitu merupakan bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang bersifat alamiah dan kekal. Dasar hubungan tersebut adalah timbul dari rasa cinta rasa dan kesatuan batin. Bentuk gemeinschaft terutama akan dijumpai dalam keluarga, kelompok kekerabatan, rukuun tetangga dan lain sebagainya. Gesellschaf (patembayan) merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan sebagaai sebuah mesin. Bbentuk gesellscaft terutama terdapat dalam hubbungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbale balik misalnya ikatan antara pedagang, organisasi dalam suatu pabrik dan sebagainya. Tonnies menyesuaikan Gemeinscaf dan gesellschaft dengan dua bentuk kemauan manusia yaitu Wesenwille (Gemeinschaft) dan Kurwille (Gesellschaft). Wesenwile merupakan bentuk-bentuk kehendak baik dalam arti positif dan negative yang berakar pada manusia yang diperkuat oleh agama dan kepercayaan yang berlaku di dalam diri manusia dan perilakunya atau kekuatan naluriah. Sedangkan Kurwille merupakan bentuk-bentuk kehendak yang mendasar pada akal manusia yang ditujukkan pada tujuan-tujuan tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan alat-alat dari unsur-unsur kehidupan lainnya.
Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu:
  1. Gemeinschaft by blood(ikatan darah) yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Contohnya: kekerabatan, masyarakat-masyarakat daerah.
  2. Gemeinschaft of place ( tempat), yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapat saling tolong menolong. Contoh : RT, RW, arisan.
  3. Gemeinschaft of mind (jiwa-pikiran) yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideology atau pikiran yang sama. Contoh :rasa kekerabatan, ketetanggaan dan persahabatan. (Soekanto, Soerjono, 2009: 116-120)
Ada pula catatan kritis untuk Sosiolog Ferdinand Tonnies tersebut, kekurangan sama yang telah melekat pada Sosiologi Cooley, tampak pada Tonnies juga. Cooley telah mengatakan bahwa kehidupan sosial didasari dan ditegakkan oleh keyakinan, motivasi dan harapan anggotanya. Ia tidak menekankan faktor-faktor penertib yang seolah-olah dari luar dikenakan dengan orang. Tonnies juga mengatakan bahwa kehidupan bersama berasal dari kemauan manusia, yaitu Triebwille atau Zweekwille. Hal itu hanya benar untuk sebagian. Lagipula perlu kita katakan bahwa manusia tidak hanya membentuk suatu tipe kehidupan bersama, melainkan ia dibentuk juga oleh kehidupan bersama serta kebudayaannya.








DAFTAR PUSTAKA

Johnson, Doyle Paul. 1986. teori sosiologi klasik. Jakarta: PT Gramedia
KJ. Veeger. 1986. Realita Sosial. Jakarta: Gramedia.
Soerjono, Soekanto. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

EMILE DURKHEIM

A. Biografi Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir pada tanggal 15 April 1858, di Epinal, Prancis.Ia adalah keturunan para rabi dan dia sendiri belajar pada seorang rabi, namun ketika berumur belasan tahun, ia menyangkal silsilah keturunannya (Strenski, 1997:4). Sejak saat itu, minat terhadap agama lebih akademis dari pada teologis (Mestrovic, 1988).Ia tidak hanya kecewa dengan ajaran agama, namun juga pada pendidikan umum dan penekannaya pada soal-soal literer dan estesis. Dia mendambakan bisa mempelajari metode-metode ilmiah dan prinsip-prinsip moral yang bisa memandu kehidupan sosial. Dia menolak karier akademis tradisional di bidang filsafat dan malah berusaha memperoleh pelatihan ilmiah, namun di masa itu belum ada disiplin sosiologi, sehingga antara tahun 1882 sampai 1887 dia belajar filsafat di beberapa sekolah di provinsi sekitar Paris.
Hasratnya terhadap ilmu pengetahuan semakin besar ketika dia melakukan perjalanan ke Jerman, di mana dia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt (Durkheim, 1887/1993).Di tahun-tahun setelah kunjungan ke Jerman, Durkheim menerbitkan beberapa karya yang melukiskan pengalamannya ke Jerman (R. Jones, 1994).Publikasi-publikasi ini membantu dia memperoleh posisi di Departemen filsafat di Universitas Bordeaux pada tahun 1887. Di sana Durkheim memberikan kuliah dalam ilmu sosial di sebuah universitas Prancis untuk pertama kalinya. Hal ini merupakan prestasi besar, karena satu dekade sebelumnya, kemarahan merebak di sebuah universitas Prancis setelah seorang mahasiswa menyebut Auguste Comte dalam disertasinya.Tugas utama Durkheim adalah memberikan mata kuliah pendidiakan bagi calon guru sekolah, sedangkan mata kuliahnya yang paling penting adalah pendidikan moral. Tujuannya adalah mengkomunikasikan suatu sistem moral kepada para pendidik, yang di harapkan mampu menularkan sistem tersebut kepada siswa-siswa mereka demi membantu memperbaiki kemerosotan moral yang ia saksikan di tengah masyarakat Prancis.
Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serangkaian keberhasilan pribadi Durkheim. Pada tahun 1893 ia menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa Prancis. The Division of Labor in Society, dan tesisnya dalam bahasa Latin tentang Montesquieu (Durkheim, 1892/1997; W. Miller, 1993). Pernyataan metodologis utamanya, The Rules of Sociological Method, yang terbit pada tahun 1895, diikuti (pada tahun 1897) oleh penerapan metode-metode tersebut dalam studi empiris pada buku Suicide. Pada tahun 1896 ia menjadi profesor penuh di Bordeaux. Pada tahun 1902 ia diundang oleh universitas Prancis paling terkenal , Sorbonne, dan pada tahun 1906 ia menjadi profesor resmi untuk ilmu pendidikan, satu jabatan yang pada tahun 1913 diubah menjadi profesor ilmu pendidikan dan sosiologi. Karya lainnya yang terkenal, The Elementary Forms of Reigious Life, terbit pada tahun 1912.Satu tahun setelahnya (1913) kedudukannya diubah menjadi professor ilmu Pendidikan dan Sosiologi. Pada tahun ini Sosiologi resmi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat terhormat di Prancis.
Tahun 1915 Durkheim mendapat musibah, putranya (Andre) cedera parah dan meninggal. Pada 15 November 1917 (pada usia 59 tahun) Durkheim meninggal sesudah menerima penghormatan dari orang-orang semasanya untuk karirnya yang produktif dan bermakna, serta setelah dia mendirikan dasar Sosiologi ilmiah.

B. Teori-teori emile durkheim
Fakta sosial
Fakta sosial adalah cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berperilaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal, atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat dan pada saat yang sama keberadaanya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual. Fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada diluar dan memaksa aktor.
Fakta sosial terbagi menjadi 2 yaitu:
1. fakta sosial material
seperti gaya arsitektur, bentuk teknologi, dan hukum dan perundang-undangan, relatif lebih mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung.
2. fakta sosial non material
- moralitas
- kesadaran kolektif
- representasi kolektif
- arus sosial
Karakteristik Fakta Sosial
a) bersifat eksternal terhadap individu
Meskipun banyak dari fakta sosial ini akhirnya diendapkan oleh individu melalui proses sosialisasi, individu itu sejak awalnya mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai satu kenyataan eksternal,
b) memaksa individu
individu memang dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Namun, bukan berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatife atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Kalau proses sosialisasi itu berhasil, individu sudah mengendapkan fakta sosial yang cocok sedemikian menyeluruhnya sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.
c) bersifat umum atau menyebar luas dalam suatu masyarakat.fakta social ini merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan.
Teori Emile Dhurkheim Dalam Konsep Pembagian Kerja Dalam Masyaraka Dan Implikasinya Pada Tingkat Integrasi Dan Solidaritas Sosial
Pembagian kerja menurut Emile Durkheim tidak sama dengan Adam Smith yang semata-mata digunakan untuk meningkatkan produktivitas, tetapi untuk menciptakan kehidupan sosial yang terintegrasi tidak slalu tergantung pada homogenitas. Adanya konsep tersebut menyoroti masyarakat tradisional yang kebayakan pekerjaannya dilakukan oleh satu individu. Misalnya untuk menanam padi, petani mengolah tanah, menanam benih padi, memanen, menjemur gabah, menumbuk gabah menjadi beras, bahkan menjualnya dilakukannya sendiri. Karakteristik pembagian kerja hanya pada jenis kelamin. Seorang perempuan jenis pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan laki-laki. Pada masyarakat tradisional tersebut kesadaran kolektif tinggi, rasa kekeluargaan erat. Hukum yang berlaku sangat kaku dan bersifat memaksa (solidaritas mekanik). Bagi Durkheim, dengan pemabagian kerja maka mampu meningkat solidaritas masyarakat yang akhirnya menciptakan sebuah integrasi dalam heterogenitas. Misalnya, menanam padi ada yang dipekerjakan untuk mengolah tanah, menanam benih padi, memanen, dsb. Proses tersebut harapannya tingkat keterkaitan antar satu individu dengan individu yang lain lebih erat (ketergantungan yang menciptakan integrasi, solidaritas kuat). Namun, pada masyarakat modern yang mempuyai pembagian kerja tinggi ternyata menampilkan individualitas tinggi, hukum restitutif, ketergantungan yang tinggi mengacu pada konflik, kesadaran kolektif lemah, bersifat industrial perkotaan (solidaritas organik).
Pembagian kerja menrut Durkheim adalah fakta sosial material karena merupakan bagian dari interaksi dalam dunia sosial. Persoalan paling kontroversial dalam pendapat durkheim adalah sosiolog mampu membedakan antara masyarakat sehat dan masyarakat patologi. Namun ada sesuatu yang menarik yang dalam argumen tersebut, yaitu menurut Durkheim kriminal adalah sesuatu yang normal dalam patologi. Dalam “Division of Labour” Durkheim menggunakan ide patologis untuk mengkritik bentuk “ abnormal” yang ada dalam pembagian kerja masyarakat modern. Pembagian kerja tersebut adalah:
  1. Pembagian kerja anomik, yaitu tidak adanya regulasi dalam masyarakat yang menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau memberi tahu masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan.
  2. Pembagian kerja yang dipaksakan, yaitu aturan yang dapat menimbulkan konflik danisolasi serta yang akan meningkatkan anomi. Hal ini menunjuk pada norma yang ketinggalan jaman dan harapan-harapan individu, kelompok, dan kelas masuk ke dalam posisi yang tidak sesuai bagi mereka.
  3. Pembagian kerja yang terkoordinasi dengan buruk, disini Durkheim kembali menyatakan bahwa solidaritas organis berasal dari saling ketergantungan antarmereka.
Pemikiran sosiologis Emile Dhurkheim mengenai pembagian kerja dalam masyarakat dianalisis melalui solidaritas sosial. Tujuan analisis tersebut menjelaskan pengaruh (atau fungsi) kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas. Mislanya, dalam perusahaan memperlihatkan semangat kerja yang tinggi, tetapi nilai dan norma tidak dapat mengontrol perilaku dengan cermat dan tegas apabila diferensiasi dan spesialisasinya rendah. Saling ketergantungan yang muncul dari deferensiasi dan spesialisasi secara relatif menjadi lebih penting sebagai suatu dasar solidaritas daripada nilai dan norma.
Solidaritas sosial menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Analisa Durkheim mengenai solidaritas sosial dasajikan menurut: 1) perbedaan-perbedaan dalam tipe solidaritas sosial, 2) ancaman-ancaman terhadap solidaritas dan tanggapan masyarakat terhadap ancaman ini, 3) munculnya penegasan atau penguatan solidaritas lewat ritus-ritus agama.
  1. Solidaritas Mekanaik dan Organis
Sumber analisa Durkheim mengenai pembedaan tersebut yaitu didasarkan pada bukunya yang berjudul The Division of Labour in Society. Tujuan karya ini adalah untuk menganalisa pengaruh kompleksitisitas dan spesialisasi pembagiankerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial. (Johnson: 1981)
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu keadaan kolektif, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada suatu masyarakat yang sama. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah solidaritas tersebut didasarkan atas homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dsb. Homogenitas tersebut bisa terjadi apabila pembegian kerja sangat minim.
Solidaritas organik muncul akibat adanaya pembagian kerja yang tinggi yang didasarkan atas rasa saling ketergantungan. Munculnya perbedaan-perbedaan di tingkat individu merombak adanya kesadaran kolektif yang dirasa kurang penting sebagai dasar keteraturan sosial terganti oleh spesialisasi kerja yang lebih otonom. Durkheim mengatakan bahwa kuatnya solidaritas organis didasarkan pada hukum yang bersifat memulihkan (restitutive) daripada hukum represif.
  1. Kesadaran Kolektif dalam Masyarakar Organik
Pertumbuhan dalam pembagian kerja (solidaritas organis sebagai hasilnya) tidak menyebabkan hilangnya kesadaran kolektif hanya saja mengurangi arti penting dari kesadaran kolektif tersebut. Hanya saja kesadaran ini menjadi semakin meliputi cara-cara berfikir dan berperasaan yang sangat umum dan tidak tentu, dengan semakin bertambahnya perbedaan-perbedaan dalam individu.
  1. Evolusi Sosial
Kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas mekanik paling kuat berkembang pada masyarakat primitif. Kerena pembagian kerja semakin meluas, kesadaran kolektif perlahan-lahan mulai hilang. Tetapi heterogenitas yang semakin bertambah ini tidak menghancurkan solidaritas sosial, sebaliknya semakin membuat individu atau kelompok saling ketergantungan satu sama lain. Meningkatnya secara bertahap saling ketergantunngan fungsional dalam berbagai bagian dalam masyarakat ini memberikan alternatif baru untukkesadaran kolektif sebagai solidaritas sosial.
Solidaritas Mekanik
Solidaritas Organis
Pembagian kerja rendah
Kesadaran kolektif kuat
Hukum represif domian
Individualitas rendah
Konsesus terhadap pola-pola normatif itu penting
Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
Secara realtif ketergantungan itu rendah
Bersifat primtif atau pedesaan
Pembagian kerja tinggi
Kesadaran kolektif lemah
Hukum restitutif dominan
Individualitas tinggi
Konsensus terhadap nilai-nilai abstrak dan umum itu penting
Badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimang
Saling ketergantunga tinggi

Bersifat industrial atau perkotaan

Teori Bunuh Diri (Suicide)
Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan fenomena konkrit dan spesifik, di mana tersedia data yang bagus cara komparatif. Akan tetapi, alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin Sosiologi.Dia melakukan penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa. Secara statistik hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.
Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat:
  1. Bunuh Diri dalam Kesatuan Agama
Dari data yang dikumpulan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan dibandingkan dengan penganut agama Katolik dan lainnya. Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masing-masing agama tersebut kepada para penganutnya.
  1. Bunuh Diri dalam Kesatuan Keluarga
Dari penelitian Durkheim disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, mengikat orang pada kegiatan-kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut.

  1. Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik
Dari data yang dikumpulkan, Durkheim menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang, golongan militer lebih terintegrasi dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai. Sebaliknya dengan masyarakat sipil.
Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi atau pergolakan politik, dibandingkan dengan dalam masa tidak terjadi pergolakan politik.
Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam:
  1. Bunuh Diri Egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Misalnya pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang melahirkan situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas dilihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan ketidakbermaknaan hidup, begitu sebaliknya.
Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.

  1. Bunuh Diri Altruistis
Terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978. contoh lain bunuh diri di Jepang (Harakiri).
Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.
  1. Bunuh Diri Anomic
Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan.
Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya kehilangan pekerjangan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan.
Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitubahwa kesuksesan yang tiba-tiba individu menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri.

  1. Bunuh Diri Fatalistis
Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh: perbudakan.
Hubungan Empat Jenis Bunuh Diri menurut Durkheim
Integrasi
Rendah
Bunuh diri egoistis
Tinggi
Bunuh diri altruistis
Regulasi
Rendah
Bunuh diri anomic
Tinggi
Bunuh diri fatalistis

Teori tentang Agama (The Elemtary Forms of Religious Life)
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan dan berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan, dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal". Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia tidak akan lagi menjadi sebuah agama, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
Hubungan antara agama dengan masyarakat terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti konsep kekuatan kekudusan pada totem itu juga yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, dimana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.
Durkheim mengulas arti penting dari agama dalam masyarakat. Dan mengenalnya sebagai sumber orisinil dari semua gagasan moral,filsafat,ilmu pengetahuan,dan keadilan. Durkheim secara konsisten mendukung kesimpulan yang telah diambil pada titik dini dari kariernya, bahwa baik orang orang yang mempertahankan teori teori ekonomi lama keliru dalam berpikir bahwa sekarang tidak perlu ada pengaturan. Dan bahwa pembela lembaga lembaga keagamaan salah dalam mempercayai bahwa pengaturan waktu yang lalu dapat berguna bagi masa sekarang. Arti penting agama yang mulai menurun dalam masyarakat – masyarakat kontemporer, merupakan akibat yang tidak bisa dielakkan dari arti pentingnya solidaritas mekanis yang makin menurun.
Dengan demikian,segi penting yang kita kaitkan dengan sosiologi agama,sedikitpun tidak mempunyai implikasi bahwa agama itu harus memainkan peran yang sama dalam masyarakat-masyarakat sekarang. Seperti yang dimainkannya pada waktu waktu lain. Dalam suatu segi, kesimpulan yang bertentangan akan lebih sehat. Mengingat agama adalah suatu fenomena kuno, maka agama makin lama makin harus mengalah kepada bentuk bentuk sosial baru,yang telah dilahirkannya.
Baru setelah tahun 1895, Durkheim mengakui bahwa dia sepenuhnya menyadari tentang arti penting pada agama sebagai suatu fenomena sosial. Menurut kesaksiannya sendiri, kesadaran tentang adanya arti penting agama, yang sebagian besar nampaknya merupakan hasil dari usahanya membaca karya karya para ahli antropologis Inggris, menyebabkan dia untuk menilai kembali tulisan-tulisannya yang terdahulu untuk menarik implikasi-implikasi dari pengertian pengertian yang baru ini. Tafsiran konfensional dari hal ini, ialah bahwa Durkheim bergeser dari posisi yang relative “materialistik” yang dianggap telah ia pegang dalam The Division of Labour, kearah suatu pendirian yang lebih dekat kepada “idealism”. Akan tetapi ini menyesatkan kalau sama sekali tidak salah, dan merupakan salah tafsir tentang pandangan pandangan Durkheim, yang sebagian berasal dari kecenderungan yang sering timbul pada para penulis sekunder untuk menggabungkan analisis fungsional dengan analisis historis dari Durkheim melalui cara yang sebenarnya pada kenyataannya asing bagi pemikiran Durkheim sendiri.










DAFTAR PUSTAKA

Beiharz, Peter.2002.Teori-Teori Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, Anthony. 1986.Kapitalisme dan Teori Sosial Modern.Jakarta: UI Press.
Johnson, Doyle P.1988.Teori Sosiologi Klasik dan Modern.Jakarta: Gramedia.
Ritzer, George.2004.Teori Sosiologi.Bantul: Kreasi Wacana.
Wolff, Kurt H.1964.Essays on Sociology and Philosophy.New York.
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

pulang kampung yuuuukkk :D

pulang kampung yuuuukkk :D
jangan pada lebay dooong ... hahaha :D

sosiologi 2010 UNY

sosiologi 2010 UNY
qw sama tmen2 :)