A. Biografi Max Weber
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, pada tanggal 21 april 1864, dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi politik yang relatif penting. Ibu Max Weber adalah seorang calvinis yang sangat religius, seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi yang didambakan oleh suaminya. Perbedaan tajam antara kedua orang tuanya menyebabkan ketegangan rumah tangga, dan perbedaan serta ketegangan tersebut membawa dampak besar bagi weber. Karena tidak mungkin mendamaikan kedua orang tuanya, sebagai anak weber dihadapkan pada pilihan yang sulit. Mula-mula ia lebih cenderung pada orientasi hidup ayahnya, namun kemudian ia lebih dekat dengan ibunya. Pada usia 18 tahun, Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di Universitas Heidelberg. Weber telah menunjukkan kemampuan intelektualnya, namun dalam hal derajat sosial ia memasuki Universitas Heidelberg dengan malu-malu dan terbelakang. Namun, hal tersebut cepat setelah ia tertarik pada car hidup ayahnya dan bergabung dengan organisasi kepemudaan yang penuh persaingan, tempat ayhnya dulu juga terlibat.setelah tiga tahun, Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan ke rumah orang tuanya untuk mengambil kuliah di Universitas Berlin. Ia tetap di sana selama hampir delapan tahun. Kemudian ketika ia menyelesaikan studinya, meraih gelar doktor, menjadi pengacara.
B.Warisan Idealisme Historisisme Jerman dan Sosiologis Interpretatif (Verstehen)
1) Warisan Idealisme Historisisme Jerman
Konsep Sosiologi Weber, sebagaimana yang telah kita ketahui, dipandang sebagai suatu upaya yang menengahi antara dua cara pandang yang bertentangan yang terjadi di jerman pada masanya. Posisi pertama, adalah mereka yang di ilhami oleh keberhasilan ilmu alam, yang meyakini bahwa metode mereka akan mampu memacu perkembangan studi manusia dan masyarakat. Sebaliknya pandangan yang kedua, menekankan bahwa sesuatu yang penting dalam manusia (spirit, pikiran, budaya dan sejarahnya) tidak akan mampu di pahami melalui teknik-teknik ilmu alam, karenanya pandangan yang pertama itu sifatnya superficial (hal-hal yang ada di permukaan) dan hanya menyangkut aspek-aspek manusia yang eksternal saja.
Psikologisme, positivisme dan behaviorisme merupakan prinsip-prinsip manifestasi dari pijakan pandangan pertama, yang bertentangan dengan Husserl dan Scheler sebagaimana yang telah kita lihat, telah mengembangkan perspektif pendekatan fenomenologi. Sedangkan weltanschuungsphilosophi dan historisme merupakan contoh dari pijakan yang kedua. Pemikiran ini menekankan bahwa keunikan spirit manusia membutuhkan beberapa metode yang khusus sehingga seseorang mampu memahinya secara autentik. Hanya dengan intuisi yang simpatik dan pemfokusan terhadap makna itulan yang akan mampu menghasilkan suatu pemahaman budaya dan sejarah secara memadai. Menurut Weber, dalam memahami sosio budaya maka di perlukan beberapa metode khusus dalam rangka memahami berbagai motif dan arti atau makna tindakan manusia. Dengan pengertian semacam ini, maka sosiologi merupakan suatu ilmu yang meilbatkan dirinya dengan penafsiran dan pemahan tindakan manusia secara sensitif. Penjelasan sosiologi haruslah memadai dalam tahapan makna. Tetapi ini bukan berarti bahwa Weber menyatakan bahwa sosiologi harus menghilangkan hubungan-hubungan kausal dalam berbagai fenomena sosial. Weber menunujukkan bahwa keterlibatan dengan kausal (hukum sebab akibat) dan generalisasi merupakan suatu hal yang umum dalam semua ilmu, maka demikian pula hal ini harus dijadikan fokus utama dalam ilmu sosial. Dengan cara seperti ini, Weber mencoba memperbarui apa yang dianggap penting oleh kedua pijakan yang bertentangan tersebut. Dengan adanya kondisi manusia semacam itu, maka tidak ada ilmu yang akan dapat memahami secara benar jika menghilangkan makna dan kesulitan itu. Sosiologi merupakan suatu ilmu yang hadir secara bersamaan untuk memahami makna subjektif manusia yang diatributkan pada tindakkan-tindakkannya dan sebab-sebab objektif serta konsekuensi dari tindakannya. Perlu diingat bahwa makna juga merupakan suatu komponen kausal dari suatu tindakan. Definisi Weber yang terkenal tentang tindakan tersebut adalah sebagai berikut “ suatu tindakan sosial itu merupakan suatu tindakan yang subjektif yang juga meliputi tindakan yang lainnya” dan diorientasikan dalam bentuk tindakan sosial. Secara ideal sosiologi haruslah menyediakan suatu penjelasan yang memadai pada dua tingkatan : pada tingkatan arti dan tindakan kausalitas. Istilah yang subjektif sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Weber, merupakan suatu hal yang penting. Sebab dengan cara ini akan membedakan secara tegas orang yang mengabaikan arti dalam mempelajari manusia dengan orang meyakini bahwa arti itu merupakan suatu hal yang objektif dan mutlak. Menurut Weber demikian pula Scheller, etika, estetika, dan beberapa cabang budaya itu kebenaran dan kevaliditasan tidak ditentukan oleh standar transidental metafisika. Subyektif itu merujuk pada makna dari actor-aktor itu sendiri yang memberikan atribut pada tindakan mereka dimana ini mengartikan bahwa seseorang haruslah berusaha keras untuk memahaminya.
Weber muda adalah seorang peneliti aktif mengenai kebijakan sosial dan kondisi kaum buruh, Weber yang lebih akhir melakukan riset mengenai psikofisika dalam kerja industrial, serta merupakan partisipan dalam negosiasi perdamaian Versailles dan contributor untuk konstitusi Weimar. Simpati Max Weber konon lebih dekat kepada Partai Sosial Demokrat Jerman dari pada apa yang diakuinya, setidaknya tertuju pada aliran reformasinya.
2) Sosiologis Interpretatif (Verstehen)
Teori sosiologi interpretatif berpandangan bahwa dunia sosial berbeda dengan dunia alam harus dimengerti sebagai suatu penyelesaian secara terlatih dari manusia sebagai subyek yang aktif dan pembentukan dunia ini sebagai sesuatu yang mempunyai makna, dapat diperhitungkan atau dimengerti dengan jelas. Menurut Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretative dimaksudkan agar dalam menganalisis dan mendeskripsikan masyarakat tidak sekedar yang tampak saja, melainkan dibutuhkan interpretasi agar penjelasan tentang individu dan masyarakat tidak keliru. Weber merasa bahwa sosiolog memiliki kelebihan daripada ilmuwan alam. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena sosial, sementara ilmuwan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang perilaku atom dan ikatan kimia.
Kata pemahaman dalam bahasa Jerman adalah verstehen. Pemakaian istilah verstehen ini secara khusus oleh Weber dalam penelitian historis adalah sumbangan yang paling banyak dikenal, dan paling kontroversial, terhadap metodologi sosiologi kontemporer. Ketika kita mengerti apa yang dimaksud Weber dengan kata verstehen, kita pun akan menggarisbawahi beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber, muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Seperti dikemukakan Thomas Burger, Weber tidak utuh dan konsisten dengan pernyataan metodologisnya. Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar mengulangi gagasan-gagasannya yang pada zamannya terkenal di kalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi, seperti ditegaskan diatas, Weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologis.
Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika ( Martin, 2000;Pressler dan Dasilva, 1996). Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial : memahami aktor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia. Satu kesalahpahaman yang sering terjadi menyangkut konsep verstehen adalah bahwa dia dipahami sekedar sebagai penggunaan “intuisi”, irasional, dan subyektif. Namun secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya melibatkan intuisi, keterlibatan berdasarkan simpati, atau empati. Baginya, verstehen melibatkan penelitian sistematis dan ketat dan bukannya hanya sekedar merasakan teks atau fenomena sosial. Dengan kata lain, bagi Weber verstehen adalah prosedur studi yang rasional. Sejumlah orang menafsirkan verstehen, pernyataan-pernyataan Weber, tampaknya terbukti kuat dari sisi penafsiran level individu terhadap verstehen. Namun sejumlah orang juga menafsirkan bahwa verstehen yang dinyatakan oleh Weber adalah sebagai teknik yang bertujuan untuk memahami kebudayaan. Seiring dengan hal tersebut, W.G. Runciman (1972) dan Murray Weax (1967) melihat verstehen sebagai alat untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa tertentu.
Max Weber juga memasukkan problem pemahaman dalam pendekatan sosiologisnya, yang sebagaimana cenderung ia tekankan adalah salah satu tipe sosiologis dari sekian kemungkinan lain. Karena itulah ia menyebut perspektifnya sebagai sosiologi interpretatif atau pemahaman. Menjadi ciri khas rasional dan positivisnya bahwa ia mentransfermasikan konsep tentang pemahaman. Meski begitu baginya pemahaman tetap merupakan sebuah pendekatan unik terhadap moral atau ilmu-ilmu budaya, yang lebih berurusan dengan manusia ketimbang dengan binatang lainnya atau kehidupan non hayati. Manusia bisa memahami atau berusaha memahami niatnya sendiri melalui instropeksi, dan ia bisa menginterpretasikan perbuatan orang lain sehubungan dengan niatan yang mereka akui atau diduga mereka punyai.
Refleksi metodologis Weber jelas berhutang pada filsafat pencerahan. Titik tolak dan unik analisis paling utamanya adalah sosok individual. Sosiologi interpretative memandang individu dan tindakannya sebagai satuan dasar, sebagai “atomnya” sekiranya perbandingan yang diperdebatkan bisa diterima. Dalam pendekatan ini individu juga dipandang sebagai batas teratas dan pembawa tingkah laku yang bermakna. Weber memilah berbagai “tipe” aneka tindakan bermotivasi. Tindakan-tindakan yang tercakup dalam sikap kelaziman rasional ia nilai secara khas sebagai tipe yang paling bisa dipahami, dan perbuatan “manusia ekonomis” adalah contoh utamanya. Tindakan-tindakan yang kurang “rasional” oleh Weber digolongkan, kaitannya dengan pencarian tujuan-tujuan absolute, sebagai berasa dari sentiment berpengaruh dalam (affectual sentiments)atau sebagai “tradisional”. Karena tujuan absolut dipandang oleh sosiolog sebagai data yang “terberi” (given) maka sebuah tindakan bisa menjadi rasional dengan mengacu pada sarana yang digunakan, tetapi irasional jika dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Tindakan “afektual” , yang murni berasal dari sentiment, adalah tipe perbuatan yang kurang rasional. Dan akhirnya, mendekati level “instinctual” adalah perbuatan “tradisional” : tidak reflektif dan bersifat kebiasaan, tipe ini dikeramatkan karena “selalu dilakukan” dank arena itu dipandang tepat. Tipe-tipe tindakan ini dibentuk secara operasional kaitannya dengan sebuah skala rasionalitas.
Tipe-tipe ideal
Tipe ideal adalah salah satu sumbangan terpenting Weber terhadap sosiologi kontemporer. Seperti telah kia ketahui, Weber percaya bahwa tanggung jawab sosiolog adalah mengembangkan seperangkat konseptual, yang kemudian dapat digunakan oleh sejarawan dan sosiolog. Perangkat konseptual terpenting tersebut adalah tipe ideal. Kendati memiliki definisi seperti ini, weber tidak sepenuhnya konsisten dengan caranya menggunakan tipe ideal. Untuk Memahami maksud awal konsep tersebut, kita harus memperhatikan beberapa ketidakkonsistenan ini. Pada level paling dasar, tipe ideal adalah konsep yang dikonstruksikan oleh ilmuwan sosial, menurut minat dan orientasinya, dalam rangka memahami ciri utama fenomena sosial.
Yang penting dicatat adalah bahwa tipe-tipe ideal merupakan perangkat heuristic, mereka berguna dan membantu dalam melakukan penelitian empiris dan dalam memahami aspek tertentu dari dunia sosial. Seperti dikatakan Lachman, “pada dasarnya tipe ideal adalah tolak ukur” atau menurut Kalberg, “standart pembanding”. Inilah yang dikatakan Weber: “fungsinya adalah alat pembanding dengan realitas empiris untuk menentukan ketidaksesuaian atau kemiripan, untuk menggambarkannya dengan konsep yang paling dapat dipahami secara tepat, dan untuk mendapatkan dan menjelaskannya secara kausal “tipe-tipe ideal adalah perangkat heuristic yang digunakan dalam irisan realitas sejarah. Sebagai contoh, ilmuan sosial akan mengkontruksi tipe ideal birokrasi berdasarkan atas keterlibatan mereka dengan data sejarah. Tipe ideal ini kemudian dapat dibandingkan dengan birokrasi actual. Peneliti mencari ketidaksesuaian pada kasus riel dari tipe ideal rata-rata. Selanjutnya, ilmuan sosial harus mencari sebab-sebab ketidaksesuaian dan penyimpangan ini. Beberapa alas an tipikal bagi ketidaksesuaian ini adalah:
1. Tindakan birokrat yang didasarkan pada informasi yang keliru.
2. Kesalahan strategi, terutama yang dilakukan oleh para pimpinan birokrasi.
3. Kesalahan logika yang menopang tindakan pemimpin dan pengikut.
4. Keputusan birokratis yang didasarkan pada perasaan.
5. Segala irasionalitas dalam tindakan pimpinan dan pengikut birokrasi.
Contoh yang lain adalah tipe ideal pertempuran militer. Tipe ideal ini menentukan komponen-komponen utama pertempuran tersebut. Pertempuran actual mungkin tidak memiliki seluruh elemen ini, dan inilah satu hal yang ingin diketahui peneliti. Point dasarnya adalah bahwa element-element dari pertempuran militer dapat dibandingkan dengan element-element yang identik dengan tipe ideal.
Element-element tipe ideal (misalnya, component-komponent pertempuran militer yang ideal-tipikal) tidak boleh disatukan begitu saja: mereka dikombinasikan menurut kontabilitasnya. Sebagaimana seperti yang dikemukakan Hekman, “tipe-tipe ideal bukanlah produk dari dorongan sesaat atau khayalan ilmuan sosial, namun merupakan konsep yang dikonstruksi secara logis”.
Menurut pandangan Weber, tipe ideal secara induktif berasal dari dunia riel sejarah sosial. Weber tidak percaya bahwa dengan hanya menawarkan serangkaian konsep yang didefinisikan secara seksama sudah memadai, khususnya jika konsep-konsep tersebut secara deduktif diturunkan dari teori abstrak. Jadi, untuk menghasilkan tipe-tipe ideal, mula-mula meneliti harus melibatkan dirinya dengan realitas sejarah dan selanjutnya menurunkan tipe-tipe itu dari realitas tersebut. Sejalan dengan upaya Weber untuk menemukan titik tengah antara pengetahuan nomotetis dengan pengetahuan ideografis, ia berpendapat bahwa tipe-tipe ideal tidak boleh terlalu umum atau terlalu spesifik.
Meskipun tipe-tipe ideal harus berasal dari dunia riel, mereka tidak dapat menjadi cerminan citra dunia tersebut. Mereka adalah penekanan satu sisi terhadap esensi hal-hal yang terjadi di dunia nyata. Menurut pandangan Weber, semakin suatu tipe ideal diberi penekanan, semakin berguna ia bagi penelitian sejarah. Pengguanaan kata ideal atau utopia tidak boleh diartikan bahwa konsep yang digambarkan tersebut dari sudut pandang manapun adalah yang terbaik diantara yang mungkin. Seperti digunakan oleh Weber, istilah ini berarti bahwa bentuk yang digambarkan dalam konsep tersebut jarang, jika pernah, ditemukan di dunia nyata. Sebaliknya, Weber berargumen bahwa tipe ideal tidak harus positif atau benar, bisa saja sama sekali tidak dapat diterima secara moral atau bersikap negative.
Tipe-tipe ideal harus masuk akal di dalam dirinya sendiri, makna komponen-komponen harus kompatibel, dan semua itu harus membantu kita memahami dunia riel. Meskipun kita harus menganggap bahwa tipe-tipe ideal menggambarkan entitasyang statis, Weber percaya bahwa tipe-tipe tersebut dapat menjelaskan entitas statis atau dinamis. Selanjutnya kita memiliki tipe struktur ideal seperti, birokrasi, atau perkembangan sosial seperti birokratisasi.
Tindakan Sosial
Keseluruhan sosiologi Weber, jika kita menerima kata-katanya ini sebagai mana adanya, didasarkan pada pemahamannya tentang tindakan sosial. Ia membedakan tindakan dengan perilaku yang murni reaktif. Mulai sekarang konsep perilaku dimaksudkan sebagai perilaku otomatisyang tidak melibatkan proses pemikiran. Stimulus datang dan perilaku terjadi, dengan sedikit saja jeda antara stimulus dengan respons. Perilaku semacam ini tidak menjadi minat sosiologi Weber. Ia memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran. Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian pada individu, pola dan regularitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subjektif hanya hadir sebagai perilaku seseorang atau beberapa orang manusia.
Dari uraian tersebut juga dapat disimpulkan bahwa Weber mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang memusatkan perhatiannya pada pemahaman interpretative atas tindakan sosial dan pada penjelasan kausal atas proses dan konsekuensi tindakan tersebut.
C. Pemikiran Sosiologis Max Weber mengenai kelas, status, kekuasaan dan masalah rasionamitas
Dimulai dengan kelas, kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas, kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi, dan kadang-kadang sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan bahwa “situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
Berlawanan denga kelas, biasanya status merujuk pada komunitas. “situasi status” didefinisikan Weber sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif” (1921/1968:932). Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah. Dalam hal ini, gaya hidup, atau status, terkait dengan situasi kelas. Namun, kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain.
Kekuasaan menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun sebenarnya mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota – anggota masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.
1.Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang bersifat politis.
2.Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya.
Dalam patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious.
Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.
3. Charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa dari dirinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan sebagainya.
Minat Weber yang begitu luas terhadap kekhasan, asal-usul dan perkembangan “rasionalisme “kebudayaan barat yang menjadi jantung sosiologinya ”(1994:18). Namun sulit memperoleh definisi yang jelas tentang rasionalisasi dari karya Weber. Sebaliknya, ia membahasnya menggunakan definisi, dan sering kali ia tidak manjelaskan definisi mana yang ttengah ia gunakan dalam diskusi tertentu (Brubaker, 1984;1).Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.
Tipe-tipe rasionalitas. Tipe pertama rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl Berg sebagai “setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan indidvidu yang murni, fragmatis dan egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan magi primitif, dan dian terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
Rasionalitas teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak.
Rasionalitas substantif (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti rasionalitas teoritis) secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas substantive melibatkan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai (secara sunstantif) tidak lebih rasional daripada sistem nilai lainnya. Jadi, tipe rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam ada postulat nilai yang konsisten.
DAFTAR PUSTAKA
M. Siahaan, Hotman. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Ritzer,George dan Douglas J. Goodman.m 2008.Teori Sosiologi Klasik . Yogyakarta:Kreasi Wacana.
Irving M. Zeihin. 1995. Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Weber Max. 2006. Sosiologi. Jogjakarta
0 komentar:
Posting Komentar